Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI (STEI SEBI) menyelenggarakan Workshop Penyusunan Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) pada Rabu, 17 Januari 2024. Workshop tersebut dilakukan secara online melalui media Zoom Cloud Meeting.
Pada kesempatan ini, STEI SEBI mengundang Fuadi Abdillah menjadi Narasumber untuk sharing wawasan dan pengalamannya sebagai penyelenggara program RPL di Program Studi Pendidikan Teknik Mesin Otomotif Universitas Ivet Semarang. Workshop ini dihadiri oleh 17 peserta dari STEI SEBI, yang terdiri dari Wakil Ketua 1, Wakil Ketua 3, Tim Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB), Ketua Program Studi, Sekretaris Program Studi, Tim Administrasi Akademik, dan Operator Kampus.
Workshop RPL ini secara resmi dimulai pada pukul 09.00 WIB. Dalam agenda sambutan, Azis Budi Setiawan menyampaikan bahwa RPL merupakan program yang banyak diminati oleh calon mahasiswa. Hal ini menjadi peluang bagi perguruan tinggi swasta untuk mendongkrak jumlah mahasiswa dan bersaing dengan perguruan tinggi negeri dalam hal menarik minat calon mahasiswa untuk mendaftar. “Tidak seperti perguruan tinggi negeri yang menyelenggarakan program dengan anggaran yang sudah disediakan oleh negara. Perguruan tinggi swasta memiliki tanggung jawab untuk mencari sumber pendanaan mandiri, di samping tanggung jawab untuk menjalankan program yang dimilikinya”, ucap Azis.
Azis juga menyampaikan bahwa jumlah mahasiswa merupakan salah satu revenue utama yang didapatkan oleh perguruan tinggi swasta. Oleh karena itu, dengan menerapkan RPL pada program studi di STEI SEBI harapannya dapat meningkatkan jumlah mahasiswa secara signifikan. “Kita ingin belajar dari Pak Fuad dan tim, yang telah berpengalaman dan sukses menjalankan program RPL”.
Fuadi Abdillah menjelaskan seputar RPL dalam agenda inti Workshop Penyusunan Program RPL. Sebagai pembuka, Fuadi menjelaskan bahwa RPL merupakan lanjutan dari program pemerintah bernama Pengakuan Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). “PPKHB dimaksudkan agar guru yang telah mengajar namun belum berkualifikasi bisa diakui dan dapat memenuhi kualifikasi pendidikan minimal guru seperti amanah UU No. 14 tahun 2005, yaitu mensyaratkan guru berkualifikasi pendidikan minimal S1/D4”, ucap Fuadi.
Fuadi menyampaikan bahwa implementasi PPKHB di lapangan tidak sesuai harapan. “Pada praktiknya, perguruan tinggi negeri tidak mau melakukan PPKHB, sedangkan perguruan tinggi swasta melakukan PPKHB namun tidak sesuai pedoman pelaksanaan”.
RPL itu sendiri memiliki dua tipe, menurut Fuadi, yaitu tipe A (yang dulunya A1) dan tipe B (yang dulunya A2). Fuadi menjelaskan bahwa penyelenggara perguruan tinggi perlu mengetahui perbedaan diantara dua tipe RPL, sehingga proses pengajuan program RPL ke kemendikbud bisa tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi. “Tipe A adalah tipe RPL yang dibutuhkan perguruan tinggi swasta untuk meningkatkan jumlah mahasiswa. Sedangkan tipe B biasanya digunakan oleh perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta yang sudah besar untuk meningkatkan prestasi dan portofolio perguruan tinggi”, ucap Fuadi.
Fuadi juga menerangkan bahwa peserta dan penyelenggara RPL memiliki persyaratan yang harus dipenuhi. Penyelenggara RPL, yakni program studi, memilik persyaratan diantaranya memiiliki nilai akreditasi minimal B atau Baik Sekali, memiliki pedoman penyelenggaraan RPL, dan memiliki peraturan akademik yang memuat peraturan akademik mahasiswa RPL yang mencakup paling sedikit batas maksimum kredit/sks yang dapat diakui dan lama studi. “Sedangkan persyaratan mahasiswa untuk menjadi peserta RPL adalah minimal lulus SMA sederajat dan memiliki pendidikan nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja yang relevan dengan program studi pada perguruan tinggi yang akan ditempuh”.
Fuadi menjelaskan bahwa sangat penting bagi program studi yang menyelenggarakan program RPL memilik CPL dan CPMK di semua mata kuliah yang ada dalam kurikulum program studi. Hal itu yang akan menjadi acuan bagi program studi untuk menentukan apa saja mata kuliah yang bisa direkognisi bagi mahasiswa yang mengikuti program RPL. “Tidak ada aturan secara teknis terkait berapa SKS yang bisa direkognisi. Yang jelas, mahasiswa diperkenankan lulus minimal lebih dari satu tahun menempuh perkuliahan. Artinya, tidak boleh semua mata kuliah direkognisi. Maksimal 80% saja dari seluruh mata kuliah”, ucap Fuadi.
Perguruan tinggi dapat mengajukan RPL secara periodik setiap satu semester melalui platform Sistem E-Rekomendasi Rekognisi Pembelajaran Lampau (SIERRA). Fuadi menambahkan bahwa SIERRA terintegrasi dengan platform SPMI dan PDDIKTI sehingga pelaksanaan RPL tidak menjadi masalah dalam proses pelaporan bagi operator perguruan tinggi. Hal tersebut merupakan potensi yang bisa dioptimalkan oleh perguruan tinggi swasta yang ingin menarik minat calon mahasiswa, khususnya yang sudah bekerja, untuk mengenyam pendidikan S1 dalam waktu yang tidak terlalu lama. “Pengalaman kami, paling cepat mahasiswa bisa lulus selama 1,5 tahun ketika mengikuti program rekognisi”.
Kegiatan workshop terus berlangsung hingga pukul 11.30 WIB. Sebelum agenda penutup, Fuadi membuka kesempatan bagi para peserta workshop untuk bertanya dan berdiskusi seputar RPL.