OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) mendorong Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 untuk segera merger dalam memenuhi ketentuan pemodalan yang diatur dalam Peraturan OJK No 12/2020.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana mengatakan bank berkategori BUKU 1 masih punya sisa waktu dua bulan untuk menaikkan pemodalan minimum hingga Rp1 triliun di tahun ini.
"Kalau merasa tidak cukup, pasti akan mencari partner. Dalam pemantauan OJK, bank-bank BUKU 1 sudah memiliki rencana masing-masing untuk memenuhi permodalan mereka di akhir 2020. Saya harap semua bisa memenuhi aturan kita," kata Heru dalam sebuah wawancara virtual, kemarin.
Peraturan OJK tersebut mewajibkan bank BUKU 1, yakni bank yang bermodal inti sebesar Rp100 miliar sampai Rp1 triliun untuk segera memenuhi ketentuan pemodalan minimum sebesar Rp1 triliun pada tahun ini, menjadi Rp2 triliun pada 2021, dan menjadi Rp3 triliun pada 2022.
Informasi terakhir yang diterima OJK, sambung Heru, sebagian besar bank BUKU 1 sudah menyanggupi aturan minimal pemodalan inti Rp1 triliun di tahun ini.
"Beberapa bank juga tengah mencari partner dan sedang dalam masa negosiasi. Kami harapkan nanti pada waktunya tercapai kesepakatan," harapnya.
Peraturan OJK itu, lanjutnya, sebagai jawaban untuk menghadapi persaingan yang semakin besar sehingga bank butuh pemodalan yang lebih kuat.
Terlebih di masa pandemi covid-19 ini, perbankan wajib menyediakan teknologi digital yang canggih untuk melayani nasabah. Bank yang tidak mumpuni teknologinya tentu tidak bisa bersaing untuk melayani nasabah secara digital.
"Tentu teknologi canggih membutuhkan modal. OJK mempersilakan perbankan yang belum bisa bersaing dengan teknologi digitalnya untuk mencari partner supaya menjadi bank yang besar, berdaya saing, dan efisien," terangnya.
Heru mencontohkan merger bank-bank syariah BUMN, yaitu PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank BNI Syariah (BNIS), dan PT BRI Syariah Tbk (BRIS).
Dari merger itu diperkirakan akan menghasilkan aset hingga Rp390 triliun pada 2025. Saat ini, per Juni 2020, aset ketiga bank tersebut total sebesar Rp214 triliun dan sudah masuk 10 besar bank terbesar di Indonesia.
Pilihan strategis
Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Azis Setiawan, mengatakan merger bank syariah Himbara itu menjadi pilihan strategis di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini. Langkah itu diyakininya akan diikuti bank-bank syariah lainnya di tengah ancaman resesi dan disrupsi teknologi saat ini.
BCA Syariah misalnya, yang juga berencana merger dengan Bank Interim (sebelumnya bernama PT Bank Rabobank International Indonesia yang sudah lebih dulu diakuisisi).
"Merger menjadi pilihan strategis yang bisa dilakukan di masa ketidakpastian ke depan. Secara umum, ini langkah yang lebih rasional dan lebih baik untuk bisa bertahan di tengah tekanan yang besar," kata Aziz. (E-2)